Dokter di Ghouta Timur: ‘Semua akan Mati, Satu Demi Satu’

Internasional – Situasi di Ghouta Timur, pinggiran Damaskus, Suriah. Bayi kembar prematur lahir dalam kepanikan. Seorang ahli onkologi kehabisan obat-obatan untuk mengobati pasien-pasien kankernya. Serta harapan terakhir seorang ibu, agar anak-anaknya tidak mati kelaparan.

Itu hanya beberapa kisah dari aktivis di Ghouta Media Center, Ghouta Timur. Wilayah yang dikuasai pemberontak di pinggiran Damaskus, yang dikepung rezim pemerintah Suriah selama bertahun-tahun.

Sedikitnya 400 orang tewas, 95 di antaranya anak-anak dalam pengeboman sejak awal pekan ini.

Sekitar 400 ribu orang masih terjebak di Ghouta Timur. Sebagian besar di antaranya sangat memerlukan bantuan kemanusiaan. Adapun pengeboman kian intensif dalam beberapa hari terakhir, banyak keluarga berlindung di bawah tanah, di tempat-tempat perlindungan yang mereka gali sendiri. Ada pula yang berlindung di rumah-rumah sakit yang masih berdiri.

Inkubator Bawah Tanah

Mphammad dan Ammar lahir di Ghouta Timur. Tangisan pertama mereka tenggelam di tengah raungan pesawat yang menderu di angkasa, yang lalu diikuti dengan ledakan susul menyusul.

Ayah mereka, Nabil Al Askhar membacakan catatan kesehatan kedua putranya. Lahir prematur, kedua bayi berada di fasilitas terakhir yang memiliki inkubator, menurut Ghouta Media Center. Fasilitas itu harus bersembunyi lantaran banyak rumah sakit menjadi sasaran serangan.

Perkembangan kedua bayi melambat sejak dipindahkan dari inkubator, bergantian bagi bayi-bayi lainnya. “Kami hanya memiliki delapan inkubator, dan satu ruang perawatan intensif. Kadang-kadang kami menaruh anak-anak di kursi,” kata seorang perawat, Reem Abu Ahmad, seperti dilaporkan CNN, Kamis (22/2).

“Ada banyak tekanan. Setiap hari lebih banyak anak-anak berdatangan, tapi mereka hampir tidak selamat,” kata Abu Ahmad.

Perut Kenyang Jadi Permintaan Terakhir

Maya terjebak di Ghouta Timur. Dia menyaksikan dua anak-anaknya yang cacat kelaparan. Harga makanan pokok, seperti roti, bahkan kebutuhan paling mendasar, tidak terjangkau.

Tak mampu memberi makan keluarga, menunggu ‘saat-saat terakhir’ yang tampaknya tak terelakkan, Maya punya satu keinginan. Dia berharap saat kematian datang, perut mereka kenyang.

“Saya sangat takut kelaparan karena itulah yang membuat anak-anak saya sakit sekarang. Serangan kedua adalah hal kedua. Tuhan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata Maya seperti dilaporkan CNN.

“Saya sangat khawatir akan anak-anak saya, satu-satunya harapan saya adalah agar mereka mendapatkan apa yang mereka perlukan,” kata dia menambahkan.

Anak sulungnya, 11 tahun, mengumpulkan plastik untuk dibakar agar mereka tetap hangat. “Saya tidak punya apa-apa buat anak-anak saya,” kata Sami, ayah mereka.

Pasien Penyakit Kronis Menanti Kematian

Kematian menjadi hal yang rutin di tengah serangan udara yang tanpa akhir.

Namun kematian tiba-tiba bukanlah kegundahan Dr. Wassem Mohammad. Dia lebih mengkhawatirkan kondisi pasien-pasiennya, di tengah menipisnya pasokan obat-obatan dan tak tergantikan.

“Saya punya 1.288 pasien, 37 di antaranya meninggal dunia karena kekurangan obat-obatan. Seluruh pasien saya dalam bahaya,” kata Mohammad, dokter onkologi terakhir di Ghouta Timur.

Saat seorang anak laki-laki terdiagnosa dengan kanker limpa datang ke fasilitas medisnya untuk pengobatan, Mohammad tidak punya apa-apa. Tak ada obat-obatan tersisa.

“Semuanya akan mati, satu demi satu, kecuali pengepungan berakhir,” kata Mohammad.

(nat)