Internasional – Sejumlah kritik dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo terkait keputusannya untuk membebaskan narapidana terorisme, Abu Bakar Ba’asyir. Alasannya adalah soal keadilan bagi korban dan kekhawatiran kelompok radikal akan bergeliat lagi jika Ba’asyir dibebaskan.
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones yang meneliti soal terorisme dan radikalisme di Indonesia menyayangkan rencana Jokowi. Menurut dia hal itu dapat memberikan kesempatan bagi Ba’asyir untuk menyebarkan ajaran radikal dan kekerasan.
Mengutip tulisannya di laman Lowy Institute pada Selasa (22/1), Jones menuding keputusan tersebut tidak tepat, patut dipertanyakan dan tidak layak secara politis.
Jones mengatakan jejak Ba’asyir dalam masalah radikalisme terlacak dari organisasi Jemaah Islamiyah (JI). Ba’asyir dituding berperan sebagai pemimpin spiritual di dalam organisasi itu.
Menurut Jones, JI dibentuk di Malaysia pada akhir 1980-an. Tokoh-tokohnya adalah Ba’asyir dan mendiang Abdullah Sungkar. Ba’asyir pergi ke Malaysia karena diburu di dalam negeri lantaran ideologinya yang menolak Pancasila.
Organisasi itu kemudian merekrut pengikut dan menyebar di Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand, dengan tujuan mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Mereka juga terlibat dalam pengiriman pejuang-pejuang ke Afghanistan untuk melawan Uni Soviet.
Setelah itu beberapa dari mereka pergi ke Filipina dan terlibat dalam perang antara pejuang Bangsa Moro dengan pemerintah.
Dalam salah satu riset Jones yang berjudul Munculnya Kembali Jemaah Islamiyah yang diterbitkan pada 2017, JI memiliki mekanisme dan cara pandang yang cukup berbeda dibanding organisasi ekstremis lainnya di Indonesia. Mereka dikenal dekat dengan Al-Qaidah.
Sejak Abu Dujana dan Zuhroni, dua pemimpin JI yang tersisa, ditangkap pada Juni 2007 dalam gencatan senjata di Poso, Sulawesi Tengah, JI bangkit kembali dengan direstrukturisasi dan taktik yang berbeda. Namun, organisasinya masih sama.
Mereka mengklaim menolak penggunaan kekerasan di Indonesia, setelah 29 anggotanya masuk daftar buronan polisi di tahun 2007 dan 18 anggota ditangkap sejak 2014. JI juga dikenal menentang kepemimpinan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Ketimbang melebarkan sayapnya melalui kekerasan, JI yang baru lebih memfokuskan diri pada dakwah. Mereka juga dinilai mulai tertarik dengan pengaruh dan infiltrasi politik, dengan tujuan membangun negara Islam dan kemitraan dengan organisasi Muslim lain untuk mencapai tujuan tersebut.
Dikutip dari risetnya dengan judul ‘Pembebasan Direncanakan dan Tidak Direncanakan dari Ekstremis Terdakwa di Indonesia’, tingkat resivisme pada mantan ekstremis terdakwa memang rendah. Namun, yang menjadi masalah adalah sistem yang dianggap belum maksimal dalam melacak individu yang dianggap berpotensi kembali masuk dalam jejaring teror.
Pemerintah Indonesia, menurut Jones, masih memiliki kapasitas yang kecil untuk menyediakan pemantauan terhadap mantan terdakwa yang sudah dibebaskan.
Ketika mantan terdakwa dibebaskan, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai acuan evaluasi resiko resivisme, salah satunya pengalaman dan koneksi terdakwa ketika di penjara.
Pada 2008, Ba’asyir mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), organisasi yang merupakan pecahan dari JI. (fey/ayp)