Jakarta – Penanganan kasus penistaan Alquran yang diduga melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai banyak kekeliruan. Mulai dari proses hukum yang masih di level penyelidikan dan pihak yang menangani kasus ini pun seharusnya bukan kepolisian.
Advokat yang juga kuasa hukum pelapor kasus Ahok, Fariz Mu’adz Basakran, mengatakan apa yang sedang berlangsung dengan kasus Ahok saat ini adalah pembodohan publik. Sebab, sudah jelas ada peristiwa pidana dilakukan seseorang dengan petunjuk berupa video, tapi status hukumnya tidak jelas.
Saat para para pelapor dipanggil, tahapnya pun baru penyelidikan bukan penyidikan meski bukti demikian terang.
Soal gelar perkara yang akan dilakukan Polri pun tidak dikenal dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, apalagi Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, tidak ada gelar perkara dalam proses penyelidikan.
”Ini keliru. Kalau ini kemudian dianggap diskresi, diskresinya pun tidak benar. Karena diskresi ada bila terjadi kekosongan hukum. Diskresi juga tidak boleh melanggar HAM,” kata Fariz dalam diskusi menyoal proses hukum Ahok yang digelar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Senin (14/11) kemarin.
Apalagi, kata Fariz, kabarnya gelar perkara mengarah pada penghentian penyelidikan. Tidak dikenal pula dalam KUHAP dan Perkap 14/2012 tentang penghentian penyelidikan. Yang bisa dihentikan adalah penyidikan.
Mengacu pada pasal 156a KUHP, semua unsur sudah terpenuhi. Pasal 156a menyebut hanya dengan mengeluarkan perasaan yang menistakan agama saja cukup untuk menjadi perkara pidana. Ahok sendiri dinilai sudah mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan
”Kita tidak lihat latar belakang Ahok, suku dan agama apa. Kita hanya lihat proses hukum positifnya,” kata Fariz.
Ada dua kasus serupa terdahulu yang patut jadi pelajaran. Pertama kasus majalah Monitor yang membuat pemimpin redaksinya Arswendo Atmowiloto dihukum empat tahun enam bulan. Ada pula kasus cerpen Langit Makin Mendung di Majalah Horizon tahun 1968.
Dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, penyidik yang disebut adalah kejaksaan agung, bukan polisi. Hal ini juga Fariz nilai janggal. Harusnya kejaksaan agung yang menyidik Ahok karena sudah meresahkan masyarakat luas lebih dari dua kasus sebelumnya.
”Apa aksi 4 November itu tidak cukup menunjukkan keresahan masyarakat,” kata dia.
Sumber: Republika