Berita AktualBerita Daerah

Pro-Kontra Penobatan RTB Wisanggeni sebagai Sultan Banten Ke-18

Serang – Pengukuhan Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja sebagai Sultan Banten yang menjadi pewaris Sultan Maulana Muhammad Shafiudin (Sultan Banten terakhir) menuai pro dan kontra.

Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja dikukuhkan sebagai Sultan Banten berdasarkan penetapan Pengadilan Agama Serang Nomor 036/ pdt.P/ 2016/ PA. Srg tertanggal 11 September 2016.

Ditetapkan bahwa Wisanggeni merupakan keturunan Ratu Bagus Abdul Mugeni Soerjaatmadja bin Ratu Bagus Maryono Soerjaatmadja bin Pangeran Timur bin Maulana Muhammad Shafiudin (Sultan Banten terakhir yang berdaulat).

Wisanggeni dinyatakan sebagai pemilik pertalian darah terkuat yang memiliki hak waris sebagai penerus Kesultanan Banten. Namun pengukuhan tersebut diprotes Kenadziran Kesultanan Banten.

Sejumlah pengurus Kenadziran Kesultanan Banten dan warga akan melakukan upaya hukum kepada Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni terkait penobatannya sebagai Sultan Banten ke-18. Alasannya, penobatan sultan tersebut tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan hukum di Indonesia, karena hanya berlandaskan pada putusan Pengadilan Agama Serang.

“Kami sudah melakukan pertemuan dengan semua kalangan tokoh masyarakat Banten termasuk pengurus kenadziran kesultanan Banten untuk membawa persoalan tersebut ke ranah hukum agar bisa segera disikapi,” Kata kuasa hukum Forum Komunikasi dan Informasi Dzuriat Kesultanan Banten, Tb Amri Wardana beberapa hari yang lalu.

Di sisi lain, H. Ubay, salah seorang pengurus Kenadziran Sultan Banten yang juga tokoh masyarakat Banten Lama, Kasemen, Kota Serang, menjelaskan, sejarah kesultanan di Banten, berawal dari Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan berakhir di Sultan Muhammad Rafiudin. Sementara ia menyatakan Sultan Wisanggeni merupakan keturunan dari Sultan Safiudin.

“Jumlah Sultan di Banten itu ada 21 Sultan. Kalau Bambang dinobatkan jadi Sultan Banten ke-18, dari mana? Selain itu, pada tahun 1820, Belanda telah menghapuskan kesultanan Banten dan resmi menjadi bagian dari daerah nusantara yang saat itu dikuasi oleh Belanda. Nah ini ngaku-ngaku dan mau mengambil alih aset kesultanan Banten,” kata Ubay.

Menanggapi hal tersebut, Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja mempersilakan jika ada masyarakat yang menolak pengukuhan dirinya menjadi Sultan Banten, untuk menempuh jalur hukum.

“Kalau mau secara hukum silakan saja. Ini kan keputusan pengadilan, mereka menggugat ke mana? Kalau ke polisi salah jalur pasti, kalau pun mereka menolak atau menggugat silakan ke MK, ajukan PK dan lain-lain silahkan saja,” kata Wisanggeni.

Ia juga mengaku akan melakukan pendekatan kepada masyarakat yang menolak dirinya menjadi Sultan Banten. Bagi Wisanggeni, yang terpenting dari segala hal adalah persatuan.

“Kerajaan apapun dan di manapun, keturunan garis lurus anak pertama laki-laki itu punya hak untuk meneruskan kesultanan. Jadi mau tidak mau saya harus melanjutkan itu, masyarakat harusnya bersatu, mari kita bangun Banten bersama-sama,” tuturnya.

Wisanggeni juga mengaku sudah memprediksi akan ada masyarakat yang tidak terima jika dirinya dinobatkan menjadi Sultan Banten. Meski demikian, ia bertekad akan memperbaiki Banten ke arah yang lebih baik.

“Harusnya kan legowo. Ini pemiliknya, ahli warisnya sama-sama leluhur kami juga. Bahkan saya ngajak bareng-bareng. Kalau tujuannya bersih, saya yakin akan berjalan dengan baik. Saya datang ke Banten bukan untuk mengacak-acak Banten. Saya orang Banten dan mau membenahi Banten,” ucapnya.

Istilah Kenadziran dan Kesultanan Banten

Ada istilah yang mungkin sedikit membingungkan masyarakat Banten, yakni antara Kenadziran Sultan Banten dan Kesultanan Banten.

“Kalau Kesultanan itu wadahnya lebih tinggi dan lebih luhur, sedangkan Kenadziran itu kan bagian dari kesultanan,” kata Wisanggeni.

Ia menjelaskan, istilah Kenadziran timbul karena masyarakat Banten menganggap Masjid dan Maqbaroh merupakan tanah wakaf. Padahal pada dasarnya, Masjid dan Maqbaroh adalah milik Kesultanan di bawah bagian dari kesultanan, dan pemilihan pengurusnya pun adalah hak mutlak Sultan Banten.

“Jadi kalau saya ada istilah merebut Kenadziran, bukan itu tujuannya. Tujuan saya ingin membenahi Banten. Kalau sekarang ada istilah Kenadziran, biarkan lah. Ayo sekarang mulai lah menata Banten lebih baik. Yang sudah-sudah biar lah, saya tidak akan mencampuri urusan Kenadziran,” terangnya. (Ahi/NM)