Internasional – Perang yang sempat berkecamuk dan blokade yang dilakukan Pemerintah Israel sejak 2006 silam membuat laju pembangunan di Kota Gaza, Palestina, seolah terhenti. Bahkan, akibat perang dan serangan Israel yang terjadi pada Juli 2014 silam, sekitar 17 ribu rumah milik warga Gaza hancur dan 100 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Belum lagi blokade dari Pemerintah Israel ke Jalur Gaza. Blokade ini membuat barang-barang ataupun bahan-bahan material untuk konstruksi seperti semen, batu bata, dan beton, tidak bisa ke Kota Gaza. Jika ingin mendatangkan bahan bangunan tersebut, warga Gaza harus melewati berbagai prosedur administrasi dan mengajukan izin ke Pemerintah Israel.
Adalah Majd Mashhrawi, perempuan berusia 22 tahun, yang akhirnya menemukan inovasi dalam pembuatan batu bata atau beton. Lulusan Teknik Sipil Universitas Islam Gaza itu menemukan alternatif bahan pembuat batu bata. Alih-alih menggunakan pasir untuk menjadi bahan utama pembuat batu bata, Majd menggunakan abu bekas batu bara dan kayu bakar, yang merupakan limbah dari industri aspal di Kota Gaza. Setiap pekan, industri aspal tersebut setidaknya menghasilkan limbah abu sebanyak 80 ton.
Terlebih, abu batu bara dan kayu bakar itu kerap dibuang dan ditimbun di dalam tanah, yang akhirnya mencemari lingkungan. Inovasi ini pun terbukti berhasil. Bersama rekan bisnisnya, Rawan Abdulatif, Majd membuat batu bata yang berasal dari limbah abu batu bara dan kayu bakar tersebut. Produk alternatif ini pun lebih murah 25 persen dari harga batu bata atau beton pada umumnya. Satu truk pasir memiliki harga 200 dolar as, maka dengan jumlah yang sama, abu batu bara hanya seharga 25 dolar As.
Pasir dan bahan penunjang untuk membuat batu bata memang masih harus diimpor dari Israel, namun abu batu bara dan kayu bakar tersebut bisa dengan mudah didapat di Gaza. “Kami berpikir, bagaimana kami bisa mengganti bahan baku tersebut dengan bahan baku yang lain, sekaligus memberikan solusi untuk masalah-masalah lingkungan?” kata Majd di Middle East Eye.
Produk batu bata buatan Majd ini memang lebih ringan dibanding batu bata yang berbahan dasar pasir. Namun, produk alternatif ini juga telah melalui berbagai tes, mulai dari tes kekuatan, tes ketahanan terhadap air dan api, serta tes berat berdasarkan gravitasi. Hasilnya pun tidak kalah dari batu bata biasanya.
Serangkaian uji coba itu dilakukan oleh Universitas Islam Gaza. Majd dan rekan-rekannya menamakan produk batu bata ini ‘Green Cake’ (Kue Hijau). “Hijau karena batu bata ini ramah lingkungan, dan ringan seperti kue,” ujar Majd.
Setelah melewati serangkaian test dan mendapatkan sokongan dana dari Universitas Islam Gaza, Majd akhirnya bisa memproduksi Green Cake secara massal. Pada Agustus 2016, Majd mendapatkan kliennya pertamanya, yang memesan sekitar 1000 blok batu bata untuk membuat sebuah dinding. “Hasilnya, begitu selesai, klien itu mengaku tidak pernah menyangkan dindingnya akan sekuat itu dan begitu indah. Bagi saya ini adalah sebuah mimpi,” ujar Majd.
Namun, Majd memang belum bisa mengembangkan produknya ini untuk skala produksi yang lebih besar. Pasalnya, Majd masih terkendala dalam masalah pembiayaan. Kendati begitu, apa yang dilakukan Majd terbukti telah membantu masyarakat Gaza dalam upaya membangun kota mereka kembali.
“Proyek yang dilakukan Majd sangat penting bagi kami. Gaza terus diserang dan kehidupan kami sangatlah sulit. Jadi apa yang dilakukan Majd sangat bagus, karena dari proyeknya itu, kami dapat memperoleh alternatif bahan baku untuk konstruksi yang lebih murah, ringan, dan nyaris bisa dibuat dari sesuatu yang bukan apa-apa,” kata salah satu pejabat di Pemerintah Kota Gaza, Asim al-Nabih.