Internasional – Philip J. Vermonte, pengamat dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, tekad pemerintah Indonesia yang ingin terus memperjuangkan Palestina di Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-bangsa (DK PBB) bisa menemukan titik terang, meski akan memakan waktu yang tak singkat.
Philip menilai Indonesia bisa menyelesaikan misi tersebut karena telah dikenal sebagai negara yang konsisten menyelesaikan konflik dan mencintai perdamaian.
Hal ini terbukti dengan langkah perdamaian dalam menyelesaikan konflik di Tanah Air.
“Seperti saat pemerintah berhasil menyelesaikan konflik di Aceh dan Poso, itu menunjukkan pemerintah berupaya agar konflik berakhir dengan jalan damai,” ujar Philip kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (9/6/2018).
Pada 2005 silam, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil menyudahi konflik puluhan tahun yang terjadi di Aceh. Kala itu, petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia menandatangani perjanjian Helsinki.
Selang setahun berikutnya, pemerintah menyudahi konflik di Poso, Sulawesi Tengah dengan membentuk empat kesepakatan. Mulai dari menghidupkan kelompok kerja Malino, mengakhiri aksi teror, membentuk tim bersama untuk mengusut insiden di Tanah Runtuh, hingga menghidupkan kondisi sosial-ekonomi di Poso.
“Bahkan, tak hanya di internal, Indonesia juga pernah terlibat dalam penyelesaian konflik di regional, seperti masalah di Kamboja, Rohingya, dan Filipina Selatan. Ini menjadi modal, track record (rekam jejak) yang konsisten,” katanya.
Konflik di Kamboja terjadi pada 1988, saat itu Vietnam membantu People’s Republic of Kampuchea (PRK) untuk mengkudeta Khmer Merah. Kemudian, Indonesia menjadi penengah dengan memediasi kedua negara. Setelah itu, kata Philip, Vietnam menyetujui untuk mengakhiri konflik dengan menarik pasukan.
Kemudian, Indonesia juga pernah menjadi mediator perjanjian antara Moro National Liberation Front (MNLF) dan Filipina yang berkonflik sejak 1993 dan berakhir pada 1996. Lalu, pada konflik Rohingya pada 2017 lalu, pemerintah Indonesia aktif membantu pengungsi Rohingya dan mendorong agar Bangladesh dan Myanmar segera mengembalikan pengungs, serta menyelesaikan masalah diantara keduanya.
Kendati begitu, Philip menyebut perlu satu kunci agar perjuangan Indonesia terhadap Palestina di PBB bisa berhasil, yaitu memaksimalkan peta pendekatan yang sesuai. Pasalnya, setiap konflik dinilainya tak sama, meski opsi penyelesaian secara damai tetap terbuka.
“Misalnya, dengan terus menggalang dukungan pihak-pihak lain juga agar pendekatannya penyelesaian lebih sesuai,” pungkasnya.
Jadi Jembatan Eropa dan Negara Islam
Tak hanya akan membawa isu Palestina, Indonesia juga akan mendorong terbentuknya pendekatan komprehensif global untuk memerangi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme.
Menurut Philip, Indonesia juga bisa menyukseskan jalannya misi itu. Bahkan, ia menyebut Indonesia bisa menjadi jembatan antara petinggi-petinggi negara di kawasan Eropa yang menentang keras terorisme dengan negara-negara Islam yang cenderung lebih rumit disatukan.
“Jadi kalau Indonesia yang memimpin (komunikasi), ini bisa menjadi penengah, dengan membuka dialog antara Eropa dengan negara Islam,” terangnya.
Alasannya, di hadapan negara Eropa, Indonesia memiliki komitmen yang cukup besar dalam memerangi terorisme, terlihat dari upaya penanggulangan dan penindakan terhadap teroris selama ini.
Sedangkan di hadapan negara-negara Islam, dengan pendekatan sesama negara dengan mayoritas penduduk beragama muslim, ini bisa menjadi daya dukung komunikasi tersebut. “Ini bisa membuat kontroversi antara kedua pihak berkurang,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi menegaskan bahwa Indonesia akan kembali membawa isu Palestina di PBB. Hal ini disampaikannya usai Indonesia kembali terpilih untuk keempat kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 2019-2020.
Indonesia memiliki empat fokus yang akan diusung saat menempati kursi DK PBB. Pertama, memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas global. Kedua, berupaya meningkatkan sinergi antara organisasi kawasan dengan DK PBB dalam menjaga perdamaian.
Ketiga, mendorong terbentuknya pendekatan komprehensif global untuk memerangi terorisme, radikalisme dan ekstremisme. Keempat, mendorong kemitraan global agar tercapai sinergi antara penciptaan perdamaian dan kegiatan pembangunan berkelanjutan. (red/cnn)