Berita AktualBerita Internasional

Warga Rakhine kepada Rohingya: Pergi Atau Kami Bunuh Kalian

Internasional  – Ribuan Muslim Rohingya di Rakhine merintih, memohon perlindungan dari otoritas ketika dua desa di negara bagian Myanmar itu dikepung oleh warga dengan mayoritas nasionalis Buddha.

Dari dalam rumah, mereka mencoba segala cara untuk mendapatkan bantuan. Kepada Reuters, sejumlah Rohingya mengeluh cadangan makanan menipis, sementara di luar sana, para nasionalis Buddha mengancam membakar rumah.

“Kami ketakutan. Kami akan kelaparan dan mereka mengancam akan membakar rumah kami,” ujar Maung Maung, seorang petugas dari etnis minoritas Rohingya di Desa Ah Nauk Pyin.

Seorang Rohingya lainnya bahkan mengatakan kepada Reuters bahwa sejumlah oknum dari kelompok etnis Buddha di Rakhine datang ke desa itu dan berteriak, “Pergi, atau kami bunuh kalian semua!”

Para Rohingya hanya bisa bersembunyi di dalam rumah, mengurungkan niat mereka untuk kabur ke Bangladesh, negara yang berbatasan langsung dengan Rakhine.

Bukan karena tak mau, tapi mereka tidak memiliki kapal untuk menembus medan yang berat menuju Bangladesh. Belum lagi, mereka harus melewati sejumlah daerah yang dikepung oleh nasionalis Buddha.

Ah Nauk Pyin sendiri terletak di tengah hutan bakau di Rathedaung, satu dari tiga kota kecil di utara Rakhine. Di Rathedaung, ada 21 desa Muslim, lima di antaranya dikepung nasionalis Buddha, membuat hidup 8.000 orang di dalamnya terancam.

Menurut Maung, kepolisian sempat mengajak sejumlah pejabat Rohingya untuk bertemu. Ternyata, dalam pertemuan itu, aparat malah menyampaikan ultimatum.

“Mereka bilang, mereka tidak mau ada Muslim di kawasan ini dan kami harus pergi secepatnya,” tutur Maung.

Pihak Rohingya setuju, dengan syarat, otoritas memberikan jaminan keamanan. Namun, saat para Rohingya sudah siap untuk keluar, otoritas tak memberikan akses keselamatan, sementara mereka terus mendengar suara tembakan setiap malam.

Kondisi di sejumlah daerah lain di dekat Rathedaung juga tak kalah mencekam. Para warga lain di Rakhine menolak kehadiran Rohingya dengan dalih khawatir ada anggota “ARSA” yang menyelinap di antara mereka.

ARSA, atau Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan, merupakan kelompok bersenjata yang menjadi dalang di balik sejumlah serangan di Rakhine sejak akhir tahun lalu, memicu bentrokan dengan militer dan berujung konflik berkepanjangan.

Meski demikian, ARSA punya alasan tersendiri saat melancarkan aksi itu. ARSA mengatakan, mereka berjuang untuk menuntut hak bagi para Rohingya yang selama ini menjadi korban diskriminasi, bahkan tak pernah dianggap sebagai warga negara meski sudah tinggal puluhan tahun di Rakhine.

Kini, polisi mengatakan bahwa situasi di desa-desa di Rathedaung akan baik-baik saja selama tidak ada ARSA yang menyusup. Kepolisian meminta Rohingya untuk tetap tinggal di rumahnya dan tak perlu khawatir karena, “tidak akan terjadi apa-apa.”

Namun menurut Maung, jumlah polisi di sekitar desanya sangat sedikit, tak cukup untuk membendung serangan besar dari para warga.

Kondisi serupa juga dirasakan di Desa Shwe Long Tin yang jaraknya sangat dengan dengan Ah Nauk Pyin. Sang kepala desa, Khin Tun Aye, memprakarsai ronda malam dengan membawa obor, berjaga jika Rohingya melawan dengan bantuan ARSA.

Namun, mereka juga berjaga agar tak ada warga dari desa lain yang menyelinap. Mereka tetap ingin menjaga keselamatan para tetangga dari etnis minoritas Rohingya.

“Jika ada keributan, mereka semua bisa dibunuh,” katanya. (has/cnn)